19 Agustus, 2009

Percakapan Pertama

KEBIMBANGAN ARJUNA (WISADA - YOGA)

SRI DESTARATA :
1. Dipadang keramat (suci) Kuru-setra (sekarang tempat itu letaknya dekat Delhi) bersiap-sedia putera-putera Pandu (Pandawa). Mereka berbuat apa di sana, Senjaya ?
(Senjaya adalah Perdana Menteri dan juru tulis peperangan Baratayuda, Sri Destarata yang buta oleh para Bharata hendak diberi penglihatan supaya dapat menyaksikan sendiri peperangan yang maha dahsyat itu, namun beliau menolak, karena kuatir tak sampai hati melihat kahancuran sanak-keluarganya sendiri. Beliau hanya menitahkan Senjaya membuat laporan pandangan mata)

SENJAYA :
2. Setelah Prabu Duryudana melihat tentara Pandawa bersiap sedia untuk berperang, maka beliau telah bersabda kepada Gurunya (Pandita Durna) :
3. "Wahai, Guruku, tinjaulah angkatan perang besar dari putera-putera Pandu sudah siap teratur oleh Drestajumana, putera Raja Drupada, murid Guru sendiri.
4. Di sanalah berbaris pahlawan-pahlawan, pemanah-pemanah yang mahir menyerupai kepandaian Bima dan Arjuna. Pula di sana ada Yuyudana, Wirata dan Drupada dengan kereta perangnya yang ampuh.
5-6. Lihatlah pula Dhristaketu, Sekitana, dan Raja Kashi (sekarang Benares) dan Purujit, Kuntibhoya dan Raja dari Sibi bagaikan banteng-ketaton. Pula pandanglah Yudhamanyu yang gagah perkasa, Utamanya, putera-putera Drupadi, semua cekatan memainkan senjata perang.
7-9. Ketahuilah, Guru, diantara kitapun ada pahlawan-pahlawan yang unggul dan kami hendak sebut antaranya : Guru pribadi, Bhisma, Karna, Kripa, Aswatama (putera Pendita Durna sendiri), Wikarna dan putera Somadati. Dan masih banyak ksatria yang rela menyabung jiwanya untuk kami serta kesemuanya pandai benar dalam peperangan.
10. Namun kekuatan pasukan yang dipimpin Bhisma tampak kurang cukup kuat, sedangkan angkatan perang yang dipimpin Bhima agak cukup angker.
11. Kalian dengan masing-masing pasukannya harus bersatu padu bela dan melindungi Bhisma.
12. Hati Duryudana amat girang ketika mendengar kakek yang tertua dari kaum Kurawa, ialah Bhisma, meniup terompet kulit kerang yang bagaikan geram singa.
13. Tidak lama terdengar suara tambur, terompet, dan sebagainya riuh rendah.
14. Lalu dari atas kereta perang yang ditarik kuda-kuda berbulu dawuk Sri Krishna dan Arjuna meniup terompet masing-masing yang bersal dari Suralaya (kayangan atau surga).
15-19. Dengan ditambahnya suara ksatria-ksatria lain membunyikan masing-masing tetabuhan perangnya, maka suara gegap gempita memenuhi angkasa, sehingga jantung kaum Kurawa berdenyut-denyut.
20-21. Kemudian Arjuna berkata pada Sri Krishna : "Majukanlah kereta perangku ketengah medan perang Ayusta ! (Ayusta = tak pernah gentar adalah julukan Sri Krishna).
22-23. Dengan demikian aku dapat melihat dari dekat siapakah gerangan yang menghendaki pertempuran hebat ini dan dengan siapa aku harus berlawanan ? Pula aku ingin mengetahui siapakah yang menyukai perang disebelah pihak Kurawa yang buruk wataknya itu ?.
24. Mendengar permintaan Arjuna, maka Sri Krishna segera memajukan kereta perang yang dikendalikannya ketengah medan perang.
25. Dihadapan Bhisma, Druna dan semua Raja-raja, Sri Krishna berseru : "Hai, Arjuna, lihatlah para Kurawa sudah siap sedia !".
26-27. Maka ditataplah oleh Arjuna barisan musuh itu dan ternyata antara mereka adalah guru-gur, paman-paman, saudara sepupu, cucu-cucu dan kawan-kawan sendiri di masa muda. Kesemuanya yang hendak bertempur itu adalah keluarganya sendiri.
28-29. Dengan iba hati Arjuna lalu menjadi bimbang dan berkata pada Sri Krishna : "Ah, jikalau aku memandang sanak-keluargaku, Guru, sedemikian bernafsu untuk berperang, badanku terasa lemas, bibirku kering, seluruh tubuhku menggigil dan bulu romaku berdiri.
30. Busur (gondewa) ku terlepas dari tanganku, kulitku seperti terbakar hangus dan aku tak dapat berdiri tegak, karena pikiranku kabur.
31. Aku melihat alamat-alamat yang sangat buruk dan tak membawa manfaat aku membunuh sanak keluargaku sendiri, O, Sri Krishna!".
32. Aku tak ingin menang perang atau kekuasaan, pula bahagia, kenikmatan dunia, karena apakah artinya semua ini ?.
33-34. Mereka yang sekarang sedia menyabung nyawa adalah sanak-keluargaku. Cobalah pandang mereka !. Bukankan mereka adalah bekas Guruku sendiri, embahku, pamanku, cucuku, iparku dan lain-lain kaumku sendiri?.
35-36. O, aku tak mau membunuh mereka, meskipun aku akan dibunuh oleh mereka. Tidak .... Tidak .... aku tak akan berbuat sekejam itu, walaupun kelak aku akan diberi pahala segala kekuasaan dan harta benda sedunia. Apakah kesenangannya membinasakan putera-putera Destarata ?, Hanya dosa yang melekat pada kita.
37. Apakah patut kita menghabiskan jiwa sanak-keluarga sendiri dan apakah kita dapat menikmati kebahagiaan dengan membinasakan turunan sendiri ?.
38-39. Jikalau hati mereka diliputi kelabaan dan membinasakan keturunan sendiri dipandang bukan sebagai suatu dosa dan bermusuhan pada sahabat-sahabat bukan suatu kejahatan, mengapa kita tidak mengelakkan kejahatan itu, karena kita memandang itu sebagai suatu dosa ?. Dengan lenyapnya keturunan, maka lenyaplah dharma, lalu timbul adharma yang meluas pada sisa keturunan kita (dharma = tugas manusia untuk melakukan kebaikan. Adharma = kekacauan atau juga tak ada hukum lagi).
41-43. Dengan munculnya adharma, maka wanita akan kehilangan akhlaknya. Jika wanita sudah hilang kesusilaannya, maka campur baurlah keadaan keturunan (kasta). Percampuran itu akan menuntun ke neraka dan melenyapkan adat-istiadat (tatakrama). Leluhur kita akan jatuh dalam neraka, karena tak ada yang memberi saji-sajian.
44-47. Manusia yang telah merusak keturunannya sendiri akan celaka selama-lamanya dalam neraka, demikian kata orang. Maka ingatlah, jangan karena terdorong oleh hawa nafsu ingin berkuasa kita membunuh sanak keluarga sendiri.
Jika Putera-putera Destarata hendak menyerang diriku, aku tak akan melawan dan tak akan memegang senjata, sehingga aku binasa, betapa bahagia rasanya.
Lalu Arjuna menjatuhkan diri di bangku kereta perangnya, melontarkan busur dan anak panahnya dengan penuh perasaan cemas.


(Sumber : Bhagawad Gita - disadur dan ditafsirkan oleh ROMO, diterbitkan oleh Toko Buku HO KIM YOE, Semarang, Maret 1957, hal 41 - 48).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar