24 Juni, 2009

Asal-Usul Bharata

Di kaki pegunungan Himalaya, dalam lembah Madya-desa sepanjang bengawan Gangga dengan anak-anak sungai Djamuna dan Serayu pada zaman purba terletaklah kerajaan Pratistina yang diperintah oleh Prabu Dusyanta.

Pada suatu hari Sang Prabu bersama-sama para menterinya dengan prajurit-prajurit berburu di rimba raya. Setelah banyak menangkap binatang hutan dan orang-orang yang turut serta dalam pemburuan itu beristirahat seraya menikmati sedapnya makanan, maka Sri Dusyanta tertarik benar untuk memasuki daerah yang di tempati oleh seorang pertapa, Begawan Kanwa. Di sini keadaan nyaman dan sentosa. Bunga-bunga tumbuh dengan penuh kemegahan dan menyiarkan bau-bauan yang harum, sedangkan burung-burung bersiul dengan bebas dan amat senangnya.

Sri Dusyanta menitahkan dua orang ponggawa untuk menjaga beliau dari kejauhan saja, karena ia ingin masuk seorang diri kepondok Begawan Kanwa.

Kedatangnya disambut dengan ramah-tamah oleh seorang gadis cantik jelita, diberi kepanya air untuk membasuh kaki, makanan dan minuman.

Sri Dusyanta terpesona melihat kecantikan gadis rimba ini dan lalu bertanya : "Aku datang kemari hendak berjumpa dengan Begawan Kanwa yang arif bijaksana. Dimanakah dia sekarang berada ?".
"Silahkan Tuanku menantikannya, karena dia sedang keluar mencari buah-buahan!" jawab Juwita itu.

Sri Dusyanta agak tak dapat menahan birahinya pada gadis rimba itu, maka ditegurnya : "Wahai, nona yang cantik, anak siapakah engkau yang untuk pertama kali aku melihatnya, sudah jatuh cinta?".
"Oh, hamba anak dari Begawan Kanwa", jawab gadis jelita itu dengan menunjukkan senyumnya yang membikin Sri Dusyanta berdebar-debar hatinya.
"Apakah mungkin seorang yang telah bertapa sekian lama dan menyucikan diri dalam hutan belukar ini seperti Begawan Kanwa akhirnya tak terluput dari godaan sehingga mempunyai seorang puteri yang secantik ini?".
"Tuanku jangan salah paham. Hamba hanya menjadi anak pungutnya saja. Menurut cerita dahulu ada seorang Begawan bernama Wisamitra yang sedemikian alimnya, sehingga Betara Indra di Suralaya ingin mengujinya. Lalu beliau menyuruh bidadari Menaka akan menggoda Wisamitra.

Akhirnya Wisamitra tergoda juga dan bidadari Menaka melahirkan seorang anak perempuan ditepi sungai Malini, lembah Himalaya. Anak itu diletakkan di situ dan peri Menaka lalu menghilang.
Ketika beberapa burung sakunta (sejenis burung alap-alap di India) melihat bayi tersebut, mereka merasa kasihan dan melindunginya dari segala mara-bahaya, karena di lembah itu tak ada seorang manusia juapun dan hanya banyak berkeliaran singa, harimau dan gajah saja.

Lewat beberapa waktu Begawan Kanwa datang ke tepi sungai itu dan melihat bayi yang sebatang-kara itu, maka dengan penuh rasa welas asih dia mendukung bayi itu pulang dan diakuinya sebagai anaknya. Karena bayi itu dilindungi oleh burung sakunta, maka dia diberi nama Sakuntala.
Dan bayi iini dipelihara dengan baik-baik sehingga menjadi perawan, ialah hamba yang kini menghadap Tuanku!. Karena hamba tidak pernah mengenal ayah sendiri kecuali Begawan Kanwa, maka dialah yang hamba pandang sebagai pengganti ayah yang sejati".

Sri Dusyanta mengajak Sakuntala membuat perhubungan Gandharwa, ialah percintaan berdasarkan atas perasaan kasih-mengasihi dengan tidak memakai upacara apa-apa pula.
Sakuntala suka mengiringi permintaan Baginda Raja, dengan syarat Baginda Raja pun suka berjanji, bahwa apabila dari perhubungan ini kelak kemudian hari terlahir seorang putera, maka putera ini harus menjadi Putera Mahkota.
Dengan tidak berpikir panjang karena sudah terpengaruh oleh kecantikan bunga hutan ini, maka Sri Dusyanta menyanggupi akan memenuhi syarat yang diajukan oleh Sakuntala, bahkan beliau berjanji akan menjemput puteri Sakuntala untuk dibawa ke ibu kota.

Demikianlah dalam hutan belantara itu terjadi percintaan antara Raja dan puteri dari ibu bidadari. Kemudian Sri Dusyanta meninggalkan Sakuntala. Baharu saja Raja pergi, amak Begawan Kanwa telah pulang dan segera tampak perubahan pada paras Sakuntala. Dia tidak menjadi gusar, karena takdir sudah menetapkan demikian dan sebagai orang yang waskita (helderzeind) dia tahu apa yang akan terjadi di masa depan, maka setelah melihat Sakuntala tampak malu, ia menghibur :"Anakku, kau tak usah merasa ternoda, karena kau akan menjadi ibu dari keturunan raja-raja yang termashur, gagah perkasa dan menguasai jagat sampai pada tepi samudra yang luas. Laskarnya akan melawan musuh dengan tidak ada taranya.

Sesungguhnya wejangan itu terbukti. Sakuntala telha melahirkan seorang putera yang tampan parasnya. Dalam usia 6 (enam) tahun putera ini dapat melunakkan binatang-binatang buas dengan mudah saja, maka dia diberi nama Sarwadamana, yang maknanya "maha pengendali", karena dia dapat mengendalikan semua binatang hutan.

Pada waktu itu juga Begawan Kanwa merasa sudah tiba saatnya Sakuntala dan puteranya menghadap pada Sri Dusyanta. Dengan diantar oleh beberapa cantrik (murid) berangkatlah ibu dan anak itu ke-ibu kota.

Mula-mula Sri Dusyanta tidak mau mengenal Sakuntala sebagai istrinya, terutama tidak mau mengakui Sarwadamana sebagai puteranya. Akan tetapi setelah terdengar suara dari Langit yang memberi peringatan pada Baginda Raja, supaya jangan mengingkari janjinya, akhirnya Sakuntala diangkat menjadi permaisuri dan puteranya diberi nama Bharata sebagai nama turunan.

(Sumber : Bhagawad Gita - disadur dan ditafsirkan oleh ROMO, diterbitkan oleh Toko Buku HO KIM YOE, Semarang, Maret 1957, hal 15 - 21).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar