25 Juni, 2009

Asal - Usul Pandhawa dan Kurawa

Turun-temurun raja-raja dari dinasti Bharata berkuasa di India sampai pada Prabu Santanu yang dinamai juga Kaum Kuro.
Pada suatu hari Sri Santanu ketika sedang berjalan-jalan di tepi bengawan Gangga telah bersua dengan seorang wanita yang amat cantik. Perempuan itu bukan lain daripada Dewi Gangga yang turun dari atas kayangan.
Ketika Sri Santanu melamar dirinya, maka Dewi Gangga berkata : "Hamba suka menjadi permaisuri Baginda, asalkan Baginda pun dapat berjanji, bahwa apa saja yang hamba lakukan, meskipun itu bertentangan dengan budi rasa Baginda, Baginda tak boleh melarangnya. Begitu segera perilaku atau perbuatan hamba dicegah atau dikecam, dengan segera hamba akan meninggalkan Baginda!".

Seperti juga pada kisah Sakuntala dengan Sri Dusyanta, demikianpun Sri Santanu dengan tidak berpikir panjang telah menerima syarat Dewi Gangga itu.
Mereka menikah dengan bahagia. Akan tetapi setelah putera pertama terlahir mulailah terasa kepincangan dalam kebahagiaan itu, karena Dewi Gangga membawa anak pertama itu ke sungai dan dilemparkannya ke dalam air itu sambil berseru : "Aku berbuat ini untuk kebaikanmua!". Sri Santanu yang melihat kekejaman sang ibu itu karena terikat pada janjinya tak berani menegur, apa pula melarang.

Dewi Gangga mengulangi pula perbuatannya ketika terlahir putera yang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
Pada waktu ia akan membuang anak yang kedelapan ke dalam sungai. Sri Santanu tak dapat menahan pula tekanan jiwanya, lalu berkata : "Wahai adindaku, mengapa engkau berbuat sekejam itu?. Ketika adinda melemparkan bayi yang pertama, meskipun agak ganjil, aku tak hendak menegur, karena berharap dikelak kemudian hari akan merubah sikapmu yang ganjil itu. Tetapi engkau berbuat terus-menerus kekejaman, sehingga acuh tak acuh aku merasa perbuatanmu itu keterlaluan ?".

Dewi Gangga tidak menjadi gentar ditegur dan dikecam demikian, bahkan memandang dengan rupa kasihan pada Baginda Maharaja.
"Engkau ini sesungguhnya siapa?, Manusia atau iblis yang menimbun dosa atas dosa?" seru Sri Santanu yang makin sengit.
"Tuanku, menyesal sekali kini tiba saatnya kita harus berpisah. Hamba adalah bidadari dari kayangan. Delapan putera yang dilahirkan berturut-turut itu sesungguhnya adalah 8 (delapan) malaikat (wasawa). Pada suatu waktu seekor lembu kemamkmuran, Nandini, dari seorang Maha Resi telah tercuri oleh 8 (delapan) wasawa itu. Akan tetapi yang menjadi biang keladi dari pencurian itu adalah wasawa Dyau.
Maha Resi itu lalu mengeluarkan laknat (kutukan), bahwa 8 (delapan) wasawa itu akan harus menderita dengan menitis menjadi manusia ke alam dunia.

Mereka segera bertekuk-lutut kehadapan Maha Resi supaya diampunkan kesalahan mereka, karena untuk malaikat tidak ada hukuman yang "ngeri" daripada dilahirkan menjadi manusia yang harus menanggung sengsara.
Maha Resi memperkenankan wasawa-wasawa itu dalam tempo satu tahun setelah dilahirkan kembali lagi ke atas kayanggan, kecuali Dyau yang harus menebus dosanya lama sekali di atas bumi.
Para wasawa itu lalu minta tolong pada hamba supaya nanti dapat terlahir ke alam dunia melalui rahim hamba. Jika wasawa-wasawa itu seorang demi seorang dilahirkan, maka hamba diminta supaya melontarkannya ke dalam sungai sehingga mati tenggelam sehingga dapat kembali kekayangan dengan cepat.
Itulah sebabnya maka hamba setiap kali melahirkan anak, melemparkannya ke dalam sungai, supaya mereka bebas dari kesengsaraan dunia. Tetapi dengan tak disangka-sangka justru Dyau yang dilahirkan paling akhir, dicegah oleh Sri Baginda untuk dapat lekas kembali ke surga. Ya, memang takdir tak dapat dilawan. Dyau harus menderita lama di dunia. Sekarang hamba memohon diri dengan membawa bayi ini dan kelak kemudian hari hamba akan mengembalikannya kepada Sri Baginda!.

Setelah memberi keterangan ini, maka Dewi Gangga bersama anak itu lenyap tanpa berbekas. Sri Santanu merasa cemas kehilangan permaisuri dan puteranya. Setelah anak itu dewasa dan pandai dalam ilmu perang, kedigdayaan, pengetahuan umum dan lain-lain, maka dikembalikan kepada Sri Santanu.Putera ini diberi nama Dewabrata Bhisma. Bhisma ternyata adalah seorang putera yang amat berbakti.

Pada suatu hari Sri Santanu berjalan-jalan di pinggir sungai Jamuna, dan jatuh cinta pada seorang gadis bernama Setiawati, anak pungut nelayan Dasa. Sesungguhnya Setiawati pun berasal dari kayangan dan dia harus menebus dosa dengan menjadi seorang wanita cantik, tetapi badannya berbau ikan, sehingga dia diberi gelar "matsiaganda" yang artinya matsia = ikan dan ganda = bau. Pekerjaan sehari-hari dari Setiawati adalah mengemudikan perahu tambang untuk menyeberangkan orang.

Pada suatu hari ia bertemu dengan Pendeta Parasara yang lalu membuat perhubungan dengan setiawati. Dari perhubungan itu terlahir seorang laki-laki yang diberi nama Abiasa dan dikatakan penyusun atau penggubah Kitab MAHABHARATA dalam mana tercantum Bhagawad Gita.
Setelah berhubungan dengan Begawan Parasara, maka bau amis (bau ikan) dari Dewi Setiawati itu telah hilang dan dalam keadaan demikian ia telah bersua dengan Sri Santanu.
Abiasa tidak berdiam bersama ibunya. Dia telah mengasingkan diri ke dalam hutan untuk mencari ilmu dan menjalankan kebatinan. Dia berparas hitam dan berbau ikan seperti ibunya dikala masih berbau amis sebelum dibersihkan oleh Pendita Parasara. Kita nanti akan kembali pada Abiasa yang akan menjadi nenek moyang dari Pandhawa dan Kurawa.

Dewi Setiawati suka menikah dengan Sri Santanu dengan satu syarat, ialah anak yang akan dilahirkan dari perkawinan ini harus diangkat menjadi Putera Mahkota. Sri Santanu merasa keberatan, sebab beliau sudah mempunyai Putra Mahkota, Bhisma. Akan tetapi Pengeran Bhisma setelah mendengar ayahandanya masgul, karena tak dapat memperistrikan Setiawati, lalu bersumpah, bahwa dia suka melepaskan haknya sebagai Putera Mahkota.
Ayah angkat Setiawati belum lagi merasa puas, karena bukanlah nanti putera-putera Bhisma --- kalau Bhisma sudah menikah --- akan menggugat hak waris kerajaan?. Bhisma lalu menghilangkan keraguan Dasa dan Setiawati dengan sukarela bersumpah hendak menjalankan Brahma Carya, ialah seumur hidup tidak akan menikah.
Setelah Bhisma menunjukkan baktinya yang semurni-murninya kepada ayahandanya maka Setiawati suka menikah dengan Sri Santanu.
Demikianlah Raja Sri Santanu setelah kawin dengan Setiawati berputera Citraganda dan Wicitrawirya alias Citrasena.

Tatkala Sri Santanu mangkat, maka kedudukannya diganti oleh Citraganda, tetapi tidak lama Raja baru itu meninggal dunia. Lalu yang menggantikannya adalah adiknya, ialah Citrasena. Dan Citrasena tak berumur panjang.

Bhisma tetap di Istana. Ketika Citraganda dan Citrasena masih hidup, maka Bhisma dengan kekuatannya dalam sayembara telah memperoleh 3 (tiga) orang puteri dari Raja Kashi. Karena seorang dari ketiga puteri sudah mempunyai kekasih, maka dia dikembalikan pada ayahnya. Dua puteri lainnya yang masing-masing Ambalika dan Ambika telah dikawinkan pada Citrasena.

Akan tetapi dari 2 (dua) isteri ini, Citrasena tidak mendapatkan anak. Setelah dia meninggal dunia, maka janda-jandanya tidak turut serta mati.

Menurut kepercayaan Hindu kuno, apabila seseorang yang mati tak mempunyai anak laki-laki, dia tidak akan masuk surga. Untuk dapat bersemayam dalam nirwana itu, maka istri orang itu harus dikawinkan lagi dengan pengharapan agas mempunyai anak laki-laki yang akan dianggap menjadi anak orang yang mati itu. Adat kebiasaan semacam itu berlaku juga antara bangsa Jahudi seperti tertera dalam Bibel bagian Wasiat lama (Oude Testament) Deut. 25 : 5 - 10.

Ibu-suri Satiawati yang merasa kuatir keturunan Bharata akan lenyap, menjadi gelisah. Dia meminta pada Bhisma untuk mengawini dua janda itu. Namun Bhisma berpegang teguh pada sumpahnya tetap tidak akan menikah sehingga mati. Dalam kebingungan ini, lalu Setiawati ingat akan anaknya sendiri yang didapat dari Begawan Parasara, ialah Abiasa.

Segera Abiasa diundang datang dan dibujuk untuk mengawini Ambalika dan Ambika. Abiasa suka memberi "turunan" untuk Citrasena itu, tetapi tidak demikian dengan kedua janda itu yang melihat paras Abiasa saja sudah muak, karena buruk parasnya dan berbau amis. Akan tetapi mau atau tidak mau mereka harus tunduk pada adat istiadat kuno itu.
Setiap kali Ratu Ambalika berkumpul dengan Abiasa ia memejamkan matanya, supaya tak melihat si muka jelek itu.Oleh karenanya ia melahirkan seorang putera yang buta dan diberi nama Destarata.
Ratu Ambika sebaliknya tidak memejamkan mata, tetapi pucat setiap bersua dengan Abiasa, sehingga akhirnya dia melahirkan anak laki-laki yang berparas pucat dan diberi nama Pandu.

Karena kedua putera itu dianggap kurang sempurna, maka Ibu Suri Satiawati, menghendaki putera yang ketiga. Akan tetapi Ratu Ambika tidak sudi berkumpul pula dengan si buruk dan bau ikan itu, maka dia menyuruh seorang perempuan dari kasta Sudra untuk melayani Abiasa.
Adapun budak dari kasta Sudra (derajat rendah) sangat menghargai kebijaksanaan Abiasa dan tidak menghiraukan rupa buruk dan bau amis, maka sangat menghormat Abiasa, sehingga Abiasa memberi berkatnya dan dari pelayan ini telah dilahirkan seorang putera yang dikelak kemudian menjadi seorang arif-bijaksana, ialah Widura.

Bhisma merasa girang sekarang turunan ayahandanya tersambung dan membimbing ketiga putera raja yang menjadi kemenakannya dalam segala ilmu lahir dan batin. Dikala putera-putera ini menjadi dewasa, maka Pandu telah dinobatkan sebagai Prabu, karena Destarata buta. Destarata telah dikawinkan dengan Puteri Ghandari, anak Raja Suwala dan kaka dari PAtih Sengkuni atau Druna yang pernah menjadi guru Arjuno.

Puteri Ghandari ketika mendengar, bahwa ia harus menikah dengan Destarata yang buta bukan saja ia tidak membantah, tetapi juga turut merasakan kesukaran suaminya dengan sengaja membalut sepasang matanya dengan kain sedemikian rupa, sehingga dia seperti buta juga dan ini untuk selama dia berdampingan dengan suaminya. Sifat setia dan bakti dari wanita Hindu ini sangat mengharukan hati.

Pandu menikah dengan dua orang puteri, ialah istri pertama Dewi Kunti, puteri Raja Yawada, kakak dari Wasudewa yang menjadi ayah Sri Krishma, sedangkan permaisuri kedua adalah Dewi Madri, puteri Raja Madra atau Madraka.
Pandu telah mendirikan ibu kota yang diberi nama Hastinapura (Ngastina) atau Kota Gajah. Negerinya menjadi makmur dan sentosa. Seperti sudah diwejangkan oleh Begawan Kanwa, sesungguhnya Prabu Pandu telah dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, sehingga pada waktu itu beliau sangat berkuasa.

Akan tetapi Sri Pandu telah berbuat kesalahan dalam pemburuan. Beliau telah memanah seekor rusa yang sedang bercumbu-cumbuan dengan sang betinanya. Sebelum rusa itu yang sebenarnya adalah seorang Resi mati, telah mengeluarkan kutukan hebat ialah : apabila Pandu bersetubuh dengan isteri-isterinya, dia akan segera mati.
Pandu sangat berduka mendengar kutukan itu, karena ini berarti ia akan tidak memperoleh keturunan. Untuk apakah kerajaan yang maha besar dan segala kemegahan itu, kalau dia tak boleh melakukan kewajiban sebagaimana layaknya seorang laki-laki terhadap isterinya?, Pandu lalu membagi-bagikan milik pribadinya dan meninggalkan kerajaannya untuk bertapa. Kedua permaisurinya telah turut serta Pandu ke dalam hutan.
Selama Pandu hidup bertapa maka Bhisma yang menjadi wali kerajaan. Setelah sekian lama Pandu dalam pertapaan, ia terpengaruh oleh nafsu yang lazim dipunyai oleh seorang laki-laki.

Dewi Kunti sebelum menjadi permaisuri Pandu telah memperoleh seorang putra yagn diberi nama Karna dari perhubungannya dengan Betara Surya. Karna ini semasa bayinya oleh Dewi Kunti "dilarungkan" (dihanyutkan) di sungai dalam keranjang yang kemudian telah ditemukan oleh Adhirata yang memungut Karna sebagai anaknya.
Setelah Dewi Kunti memaklumi, betapa hebat keinginan Pandu akan mempunyai turunan, lalu mengusulkan pada Pandu buat ia menggunakan mantera-mantera akan mengundang Dewa-Dewa untuk mewakili Pandu dalam menunaikan kewajiban suami-isteri.

Demikianlah Pandu, memperoleh anak dari hubungan Batara Dharma (keadilan) dengan Dewi Kunti seorang putera yang diberi nama Yudhistira.
Berhubungan dengan Betara Wayu (angin), maka Dewi Kunti melahirkan putera yang kedua untuk Pandu, ialah Bima alias Wrekudara, dengan Betara Indra (Raja Para Dewa), terlahir Arjuna.
Dewi Madrim yang mendapat bantuan Aswin-Aswan (dewa kembar) dan menjadi tabib-tabib di surga, telah melahirkan dan anak kembar, ialah Nakula dan Sahadewa. Kelima putera Pandu itu dinamakan Pandawa. Kelima putera Pandu itu dinamakan Pandawa.

Meskipun telah mempunyai lima orang putera, Pandu agak merasa kurang puas, jika dia sendiri tidak membuat hubungan langsung, maka pada saat yang tak dapat dikendalikan, ia "berkumpul" dengan Dewi Madri, isteri yang kedua. Terlaksanalah kutukan yang hebat dari resi itu, ialah Pandu telah meninggal dunia dalam pelukan Dewi Madrim.
Dewi Madrim merasa sangat berduka dan ketika jenasah Pandu dibakar, diapun turut mati dalam api yang berkobar-kobar.
Dewi Kunti bersama lima orang putera Pandu meninggalkan hutan menuju Hastinapura.

Sementara itu Ghandari, isteri Destarata, telah melahirkan ---- sekerat daging yang besar----. Setelah daging itu disirami air, maka bertebaran menjadi seratus kerat kecil. Dua tahun kemudian kerat-kerat daging itu menjadi anak-anak lelaki dan seorang anak perempuan. Anak yang tertua dari 100 anak itu diberi nama Duryudana atau Suyudana. Dikatakannya dia dilahirkan bersamaan dengan Bima. Putera-putera dari Destarata itu dinamai Kurawa.

Kurawa dan Pandawa ini tadinya berkumpul dalam satu keraton dan mendapatkan pendidikan yang sama baiknya dari Bhisma, mangkubumi dari kerajaan Hastinapura. Sedari masih kecil tabiat Kurawa dan Pandawa sudah berlainan sekali, terutama Duryudana sangat tamak.
Di dalam darah Kurawa mengalir rupa-rupa benih kejahatan, sebaliknya di dalam tubuh putera-putera Pandu atau Pandawa tumbuh bibit kebaikan. Menurut tradisi, seharusnya yang menjadi raja di Ngastina itu adalah Yudistira, tetapi karena dia belum lagi dewasa, maka kerajaannya diwakili oleh Sri Destarata yang buta itu.

Dengan macam-macam tipu muslihat kerajaan Ngastina telah dikuasai oleh Kurawa dan Pandawa terusir keluar kerajaan. Mereka (lima pangeran) telah diberi sebidang tanah hutan belukar untuk tempat tinggalnya. Pandawa lalu mendirikan kerajaan yang diberi nama Indraprastha (Ngamarta = Amarta) dan yang sekarang disebut Delhi. Segera negara baru ini menjadi makmur.

Duryudana yang mendengar hal itu menjadi iri hati dan mencari akal pula. Ia mengundang Pandawa kekeratn Ngastina dan di sana Yudistira telah diajak berjudi. Yudistira telah kalah habis-habisan, sehingga kemerdekaan empat saudaranya, isterinya dan dirinya sendiri diserahkan kepada Duryudana. Mulai sejak itu, Pandawa menjadi budak-budak kaum Kurawa. Prabu Destarata merasa tak sampai hati mendengar kemenakannya diperlakukan demikian oleh Kurawa, maka lalu diadakan suatu "Kompromi" ialah Pandawa harus "Merantau" selama dua belas tahun dengan menyamar, tak boleh mengunjukkan namanya yang sejati dan kemudian baharulah boleh pulang ke Ngastina.

Setelah sampai masanya Pandawa kembali ke NGastina dan meminta hak atas kerajaan itu, maka diutuslah Sri Krishna atau Narayana, ialah ipar dari Raden Arjuna untuk merundingkan pembagian kerajaan itu, supaya dibagi dua saja.
Akan tetapi Duryudana berkeras untuk tak memberikan hak Pandawa, sehingga akhirnya terjadi perang saudara yang maha dahsyat dan disebut dengan Perang Baratayuda. Peperangan hebat ini berlangsung selama delapan belas hari di medan perang Kuru-setra.

Pada hari pertama Arjuna menghadapi musuh-musuhnya dengan mengendarai kereta perang dan sebagai kusirnya adalah Sri Krishna. Timbulah keragu-raguan dan kebimbangan dalam hatinya. Berdasarkan keraguan dan kebimbangan ini, maka Sri Krishna telah memberi pelajaran yang tertera dalam "Bhagawad Gita" terbagi dalam delapan belas Pandawa dan Kurawa ini, untuk memudahkan pembaca dihalaman-halaman berikutnya mengikuti apa yang dipersoalkan oleh Arjuna dengan Sri Krishna yang terkenal juga sebagai Prabu Dorowati.
Sri Krishna adalah awatara (penjelmaan) dari Betara Wisnu, pemelihara sarwa-alam yang diciptakan oleh Betara Brahma (Brama).


(Sumber : Bhagawad Gita - disadur dan ditafsirkan oleh ROMO, diterbitkan oleh Toko Buku HO KIM YOE, Semarang, Maret 1957, hal 22 - 40).

Baca Selengkapnya..

24 Juni, 2009

Asal-Usul Bharata

Di kaki pegunungan Himalaya, dalam lembah Madya-desa sepanjang bengawan Gangga dengan anak-anak sungai Djamuna dan Serayu pada zaman purba terletaklah kerajaan Pratistina yang diperintah oleh Prabu Dusyanta.

Pada suatu hari Sang Prabu bersama-sama para menterinya dengan prajurit-prajurit berburu di rimba raya. Setelah banyak menangkap binatang hutan dan orang-orang yang turut serta dalam pemburuan itu beristirahat seraya menikmati sedapnya makanan, maka Sri Dusyanta tertarik benar untuk memasuki daerah yang di tempati oleh seorang pertapa, Begawan Kanwa. Di sini keadaan nyaman dan sentosa. Bunga-bunga tumbuh dengan penuh kemegahan dan menyiarkan bau-bauan yang harum, sedangkan burung-burung bersiul dengan bebas dan amat senangnya.

Sri Dusyanta menitahkan dua orang ponggawa untuk menjaga beliau dari kejauhan saja, karena ia ingin masuk seorang diri kepondok Begawan Kanwa.

Kedatangnya disambut dengan ramah-tamah oleh seorang gadis cantik jelita, diberi kepanya air untuk membasuh kaki, makanan dan minuman.

Sri Dusyanta terpesona melihat kecantikan gadis rimba ini dan lalu bertanya : "Aku datang kemari hendak berjumpa dengan Begawan Kanwa yang arif bijaksana. Dimanakah dia sekarang berada ?".
"Silahkan Tuanku menantikannya, karena dia sedang keluar mencari buah-buahan!" jawab Juwita itu.

Sri Dusyanta agak tak dapat menahan birahinya pada gadis rimba itu, maka ditegurnya : "Wahai, nona yang cantik, anak siapakah engkau yang untuk pertama kali aku melihatnya, sudah jatuh cinta?".
"Oh, hamba anak dari Begawan Kanwa", jawab gadis jelita itu dengan menunjukkan senyumnya yang membikin Sri Dusyanta berdebar-debar hatinya.
"Apakah mungkin seorang yang telah bertapa sekian lama dan menyucikan diri dalam hutan belukar ini seperti Begawan Kanwa akhirnya tak terluput dari godaan sehingga mempunyai seorang puteri yang secantik ini?".
"Tuanku jangan salah paham. Hamba hanya menjadi anak pungutnya saja. Menurut cerita dahulu ada seorang Begawan bernama Wisamitra yang sedemikian alimnya, sehingga Betara Indra di Suralaya ingin mengujinya. Lalu beliau menyuruh bidadari Menaka akan menggoda Wisamitra.

Akhirnya Wisamitra tergoda juga dan bidadari Menaka melahirkan seorang anak perempuan ditepi sungai Malini, lembah Himalaya. Anak itu diletakkan di situ dan peri Menaka lalu menghilang.
Ketika beberapa burung sakunta (sejenis burung alap-alap di India) melihat bayi tersebut, mereka merasa kasihan dan melindunginya dari segala mara-bahaya, karena di lembah itu tak ada seorang manusia juapun dan hanya banyak berkeliaran singa, harimau dan gajah saja.

Lewat beberapa waktu Begawan Kanwa datang ke tepi sungai itu dan melihat bayi yang sebatang-kara itu, maka dengan penuh rasa welas asih dia mendukung bayi itu pulang dan diakuinya sebagai anaknya. Karena bayi itu dilindungi oleh burung sakunta, maka dia diberi nama Sakuntala.
Dan bayi iini dipelihara dengan baik-baik sehingga menjadi perawan, ialah hamba yang kini menghadap Tuanku!. Karena hamba tidak pernah mengenal ayah sendiri kecuali Begawan Kanwa, maka dialah yang hamba pandang sebagai pengganti ayah yang sejati".

Sri Dusyanta mengajak Sakuntala membuat perhubungan Gandharwa, ialah percintaan berdasarkan atas perasaan kasih-mengasihi dengan tidak memakai upacara apa-apa pula.
Sakuntala suka mengiringi permintaan Baginda Raja, dengan syarat Baginda Raja pun suka berjanji, bahwa apabila dari perhubungan ini kelak kemudian hari terlahir seorang putera, maka putera ini harus menjadi Putera Mahkota.
Dengan tidak berpikir panjang karena sudah terpengaruh oleh kecantikan bunga hutan ini, maka Sri Dusyanta menyanggupi akan memenuhi syarat yang diajukan oleh Sakuntala, bahkan beliau berjanji akan menjemput puteri Sakuntala untuk dibawa ke ibu kota.

Demikianlah dalam hutan belantara itu terjadi percintaan antara Raja dan puteri dari ibu bidadari. Kemudian Sri Dusyanta meninggalkan Sakuntala. Baharu saja Raja pergi, amak Begawan Kanwa telah pulang dan segera tampak perubahan pada paras Sakuntala. Dia tidak menjadi gusar, karena takdir sudah menetapkan demikian dan sebagai orang yang waskita (helderzeind) dia tahu apa yang akan terjadi di masa depan, maka setelah melihat Sakuntala tampak malu, ia menghibur :"Anakku, kau tak usah merasa ternoda, karena kau akan menjadi ibu dari keturunan raja-raja yang termashur, gagah perkasa dan menguasai jagat sampai pada tepi samudra yang luas. Laskarnya akan melawan musuh dengan tidak ada taranya.

Sesungguhnya wejangan itu terbukti. Sakuntala telha melahirkan seorang putera yang tampan parasnya. Dalam usia 6 (enam) tahun putera ini dapat melunakkan binatang-binatang buas dengan mudah saja, maka dia diberi nama Sarwadamana, yang maknanya "maha pengendali", karena dia dapat mengendalikan semua binatang hutan.

Pada waktu itu juga Begawan Kanwa merasa sudah tiba saatnya Sakuntala dan puteranya menghadap pada Sri Dusyanta. Dengan diantar oleh beberapa cantrik (murid) berangkatlah ibu dan anak itu ke-ibu kota.

Mula-mula Sri Dusyanta tidak mau mengenal Sakuntala sebagai istrinya, terutama tidak mau mengakui Sarwadamana sebagai puteranya. Akan tetapi setelah terdengar suara dari Langit yang memberi peringatan pada Baginda Raja, supaya jangan mengingkari janjinya, akhirnya Sakuntala diangkat menjadi permaisuri dan puteranya diberi nama Bharata sebagai nama turunan.

(Sumber : Bhagawad Gita - disadur dan ditafsirkan oleh ROMO, diterbitkan oleh Toko Buku HO KIM YOE, Semarang, Maret 1957, hal 15 - 21).

Baca Selengkapnya..